”Benerkan, nggak apa-apa. Mas Prad aja yang terlalu berlebihan.”
”Ya, tapi kan nggak ada salahnya memeriksakan ke dokter, daripada terjadi apa-apa.”
”Kita mau kemana mas? Apa kembali ke hotel.” Tanyaku ketika aku dan Mas Prad keluar dari ruang praktek dokter.
”Nggak, kita pergi ke tempat lain aja, ada yang mau aku bicarakan sama kamu.”
”Sebenernya mau bicara apa sich mas, penting banget ya, tapi sebelumnya bisa nggak nyinggah di fast-food, aku sedikit laper nich, belum maem.”
”Kamu belum makan?”
”He,,eh,,”
”Kenapa nggak bilang dari tadi, ya,,udah kita cari restoran aja, makan dulu.”
”Nggak perlu mas, aku lagi pengen makan burger aja. Mas Prad sudah makan belum?”
”Sudah,,,tapi makanan gitu kurang sehat.”
”Nggak apa-apa donk mas sekali-sekali”
”Ya, udah terserah kamu aja.”
Mas Prad dan aku masuk ke mobil dan pergi ke sebuah fast-food.
”Kamu mau makan di tempat atau di bawa pulang.”
”Pesan bawa pulang aja mas, makan di jalan aja.”
”Ya, udah kamu tunggu di sini sebentar, aku masuk dulu pesan makanannya.”
Mas Prad turun dari mobil dan berjalan menuju kesebuah fast-food.
”Ternyata mas Prad baik banget ya, tapi koq dia bisa ngeduain istrinya ya? Nggak kaya mas Prad banget. Tapi istri mas Prad pasti seneng banget dech punya suami kaya mas Prad yang selalu perhatian.”
Aku terus memerhatikan mas Prad yang sedang memesan makanan, dilihat dari arah manapun mas Prad selalu terlihat keren, entah ada daya tarik apa ya, yang membuat aku nggak bisa lepas memandangi dia. Apa jadinya kalau aku nggak bisa ngeliat dia lagi, pasti aku bakal kangen banget sama dia. Mas Prad sosok yang selalu menawan dan membuat aku tak bisa lepas untuk memandangnya.
”Makan dulu, selagi hangat.” Mas Prad menyerahkan kantong makanan ke aku
”Makasih. Mas Prad mau nggak makan.”
”Nggak, aku masih kenyang.” mas Prad mulai menjalankan mobilnya.
”Bukan karena takut terkontaminasi karena fast-food kan?”
”Maksud kamu?”
”Ya, sapa tau mas Prad takut makan kaya ginian,”
”Siapa bilang?”
”Ya, ngira aja sich. Kalau gitu coba makan donk mas. Nich,,”
Aku membuka burgernya dan menyodorkannya ke mas Prad.
”Ayo lah mas, coba dikit aja.”
”Ntar dech,,lagi nyetir nich, nanti malah ketabrak.”
”Ok, dech.” balasku.
Mas Prad memberhentikan mobilnya di sebuah parkiran taman kota.
”Kita bicara di sini aja ya?”
”Terserah dech, nich mas cobain donk, enak lho.”
Mas Prad pun memakan burger yang ku berikan ke mas Prad.
”Gimana mas, enakkan?”
”Lumayan.”
”O,,ya mas mau bicara apa?”
”Ehm,,,lukamu nggak apa-apa?”
”Kan udah di periksain ke dokter mas. Jadi udah nggak apa-apa. Mas Prad kenapa sich?”
”Nggak kenapa-napa. Koq bisa luka kaya gitu.”
”Kan udah di bilang mas, kalau kemaren jatuh. Ya, walau nggak sepenuhnya sich.”
”Maksudnya?”
”Kemaren tuch ada istri pelangganku yang mergokin aku dengan suaminya, jadi waktu dia lagi marah-marah ngedorong aku sampai kebentur meja, tapi itu Cuma luka dikit yang ada dipipi aja. Luka yang lainnya real karena aku terjatuh waktu mau pulang.”
Muka mas Prad terlihat kaget mendengar pernyataanku itu.
”Gimana ya mas, kalau istri mas ngeliat aku sama mas sedang berdua seperti ini. Mungkin istri mas akan berlaku yang sama seperti istri pelangganku yang kemaren kali ya?.”
Mas Prad hanya tertegun memandangku.
”Mas Prad kenapa? Koq diam aja.”
”Istriku sedang hamil.”
Sekarang gantian aku yang terkejut mendengar perkataan mas Prad.
”Wow,, berarti mas Prad lagi senang banget donk, ini kan yang selama ini mas Prad dan istri mas Prad harapkan kan? Jadi ini yang mau mas Prad bicarakan sama aku.”
”Iya. Aku baru tau dia hamil beberapa hari yang lalu,,,”
Aku benar-benar takut mendengar perkataan mas prad selanjutnya. Apa aku harus berpisah dengan mas prad? Aku nggak tau apa yang harus kukatakan.
”Sepertinya ini bakal jadi pertemuan kita yang terakhir, karena aku takut kalau sampai istriku tahu tentang kamu, kehamilannya akan terganggu.”
Aku benar-benar bingung dan tidak bisa berkata apa-apa.
Apa ini benar? atau aku hanya sedang bermimpi. Please, jika aku lagi bermimpi cepat bangunkan aku dari mimpi ini, aku nggak mau berpisah dari mas Prad, aku sayang sama dia, aku ingin selalu bersama dengan dia walau hanya seperti ini.
”Tan, kamu baik-baik aja kan, kamu nggak apa-apa kan?”
”hah,,,aku nggak apa-apa koq mas, aku senang banget dengerin istri mas prad sudah hamil. Ya, walaupun setelah ini kita nggak bakal ketemu lagi, tapi itukan memang sudah sewajarnya. Aku kan Cuma seorang penghibur dan tentunya jika aku sudah nggak di perlukan lagi, aku nggak ada hak untuk memaksa pelangganku untuk terus bertemu dengan aku.” kataku sambil menundukkan kepalaku
Mas Prad memandangku dan memalingkan wajahku ke arahnya.
”Tan, aku nggak bermaksud seperti itu, aku Cuma mau yang terbaik aja.”
”Nggak apa-apa koq mas. Aku ngerti koq. Kita kan sudah tau resikonya, jadi sudah sewajarnya seperti ini. Sudahlah mas nggak usah di bahas. Aku seneng banget koq bisa menggenal orang seperti mas Prad.”
Mas Prad menciumku tepat dibibirku, aku hanya terdiam dan tidak menolak atau pun merespon ciuman itu.
”Bisa kita pulang sekarang mas?”
”Oke.”
Sepanjang perjalanan ke rumahku kami tidak terlalu banyak bicara yang kami bicarakan Cuma arah ke rumahku.
Ya, mas prad termaksud pelanggan pertama yang tau alamatku, tapi tentunya itu bukan masalah besar karena setelah ini pun aku nggak akan ketemu dengan dia lagi.
”Makasih, mas.” Kataku seraya membuka pintu mobil dan turun dari mobil mas Prad.
”Tan,,,” Panggil mas Prad dari dalam mobil.
”Ya,” aku menoleh ke arah mas Prad.
”Kalau kamu ada apa-apa dan perlu bantuanku. Kamu bisa menghubungi aku.”
”Iya, makasih.”
Aku segera berjalan masuk ke dalam rumah dan aku melihat ada David di sana bersama dengan kedua adikku yang sedang bermain PS. Aku hanya melewati mereka dan menuju ke kamarku.
begitu menyedihkannya ya aku, sampai-sampai lelaki yang baru kusukai telah meninggalkan aku, harusnya aku tahu hal itu dari awal sebelum aku benar-benar merasakan cinta ini ke Mas Prad, kenapa juga aku harus suka sama mas Prad, padahal akukan sudah tahu kalau akhirnya akan seperti ini.
Air mata terus menetes dikedua pipiku, aku berdiri menuju kaca dan duduk di kursi rias.
”Kenapa Kamu nggak terima aja mas Prad waktu dia ngajak kamu menikah? seandainya kamu waktu itu menerima dia, pasti hari ini nggak akan seperti ini.” kataku kepada pantulan diriku di kaca. ”Iya, juga ya, kenapa aku nggak nerima mas Prad waktu itu, kenapa aku harus menolak dia. Tapi kurasa bagaimanapun jawabanku waktu itu, hasilnya akan sama hari ini dan aku akan semakin sakit, jika aku benar-benar menerimanya hari itu.”
Aku memandangi wajahku yang dipantulkan oleh kaca dan melihat kedua mataku yang merah serta hidungku yang juga memerah dan wajahku basah oleh air mata.
”aku nggak boleh kaya gini” aku mengusap air mata yang ada dipipiku. ”aku sudah tahu ini bakal terjadi dan aku nggak seharusnya berlaku seperti ini. Nggak sepatutnya aku bersedih seperti ini.”
Aku segera membasuh wajahku dan menghilangkan bekas-bekas air mata yang ada dipipiku dengan air yang mengalir, walaupun beberapa kali air mataku ikut mengalir bersama dengan air yang membasuh wajahku.
Tok,,,tok,,,
Aku ke arah pintu dan membuka pintu, aku menemukan Jo berdiri di balik pintu.
”Kenapa Jo?”
”Ehm,,,, kak David malam ini mau nnginap di sini boleh nggak?”
",,,,,”
”Kak David tidur dikamar Jo koq.”
”Ok,,,,terserah aja.”
”Kakak, kenapa kak? habis nanggis ya?”
”Nggak koq, baru cuci muka aja.”
”Okey,,, Met istirahat.”
”O,,,ya Jo besok kamu bawa aja mobilnya, soalnya kakak masih nggak bisa ngantar kamu. Nggak masalah kan?”
”Ya.”
Aku melap mukaku dan segera berbaring di tempat tidurku. Mencoba menenangkan diriku dan mencoba melupakan semua yang tidak seharusnya kuingat.
Satu jam,,,,dua jam,,,,tiga jam aku tetap nggak bisa tidur aku hanya bolak-balik nggak jelas di tempat tidurku. Ada sesuatu yang membuat aku nggak tenang dan nggak bisa tidur, rasa ini benar-benar melebihi rasa sakit yang kurasakan kemaren sewaktu kakiku serta wajahku terluka. Entah mengapa luka kemaren tidak membuat air mata ini turun, tetapi rasa sakit ini benar-benar membuat aku nggak bisa menahan air mata ini.
Aku keluar dari kamar dan menuju kedapur ingin membuat kopi, tapi saat aku melewati ruang tamu aku melihat David sedang duduk menonton tv.
”Lho,, belum tidur Nat? ”
”Iya, masih belum bisa tidur nich, aku mau bikin kopi kamu mau?”
”Kopi? Nggak dech. Kalau teh boleh juga.”
Aku berjalan kedapur dan memasak air panas dan menyiapkan dua mug serta mengisinya masing-masing dengan teh dan kopi.
”Perlu di bantu?”
”Nggak, silahkan duduk aja.”
”Berniat nggak tidur ya?”
”Maksudnya?”
”Ya, minum kopi kan bisa membuat mata terus melek.”
”o,,ya. Kayanya nggak berlaku dech sama aku dan nggak ada efek apapun kalo aku minum kopi.”
”O,,,gitu.”
”Berapa?”
”Apanya?”
”Gulanya.”
”Oh,,,satu sendok aja.”
Aku duduk di hadapan David, menunggu air panasku masak.
”Kamu nggak di cari sama orang rumah?”
”Hei,,,i’m 20,,,,”
”How about 20?”
”Kurasa itu umur yang cukup untuk nggak di cari sama orang rumah, lagian aku selama ini kan sekolah diluar, jadi no problem kalo aku nggak ada di rumah. Keberatan ya aku di sini.”
”Nggak sich,,,,, ”
ciiiiiiiiiiiiiiiiit,,,,,,,,,,,,,,,,ciiiiiiiiiiiiiiit suara air yang kumasak telah masak. Dan aku berdiri untuk mematikan kompor dan menuangkan air panas itu ke dua buah mug yang telah siap.
”Nich,,”
”Lagi sedih ya?”
”Maksudnya?”
”Keliatan muka kamu keliatan lebih murung dari biasanya.”
”O,,ya!”
”Lagi ada trouble ya?”
”Nggak tuch, biasa aja.”
”Nggak siap untuk cerita ya?”
”Memang kamu harus tahu segala hal?”
”Nggak salah kan sedikit berbagi bisa mengurangi kesedihan.”
”Sok tahu banget sich kamu.”
”Bukan sok tahu, tapi kalau punya masalah itu harus di bagikan, kalau terus di pendam nantinya bakal nyakitin diri sendiri lho.”
”Hei,,,, who are you? That’s my privasi.”
”Sory, aku bukannya mau melanggar privasi mu, tapi aku nggak suka ngeliat muka kamu yang murung gitu dan bukannya aku mau ikut campur sich, tapi benerkan ada sesuatu.”
”Sudahlah nggak perlu di bahas.”
”Masalahnya berat banget ya membagikannya ke orang lain.”
”Sudah ku bilang ini bukan urusan kamu, OKEY.”
Aku mulai sedikit terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh David.
”Sory, aku nggak bermaksud kaya gitu. jika kamu nggak mau bicarain masalah kamu, aku nggak akan bahas lagi.”
Aku berjalan keluar dari dapur dan menuju ke ruang tengah dan duduk di sofa seraya menikmati kopiku. David mengikuti aku dan duduk di sebelahku. Tapi kami hanya diam tanpa berkata apapun satu sama lain.
”Ehm,,,sory ya, aku nggak maksud ngomong seperti itu, Cuma lagi ada problem nich, jadinya rada bete gini dech.”
”It’s ok.”
Kembali terjadi keheningan antara aku dan David.
”Apa cinta itu bisa salah ya?” celetukku.
”Maksudmu?" Tanya David seraya menoleh ke arahku.
”Kenapa banyak hal yang harus dipikirkan dalam menjalin cinta? Patah hati itu nyakitin banget ya?”
”Lagi sedih banget ya?”
”Mungkin,,, aku juga nggak tau, apa aku sedang sedih atau apa. Yang pasti aku nggak suka banget perasaan seperti ini.” air mataku mulai menetes dikedua pipiku.
”Nat,,,kamu koq nanggis?”
Aku menarik naik kakiku sampai lututku menutup mukaku dan menangis.
”Nat,,,,are you oke?”
Aku tidak menghiraukan David dan terus menangis. Aku menangis selama beberapa menit (ya kurasa seperti itu karena aku nggak tau pasti berapa lama aku menangis).
Saat aku menengadahkan muka aku melihat David duduk di depanku dan memperhatikan aku.
”Gimana sudah puas nanggisnya?” David tersenyum
”hiks,,,kenapa mau nertawain aku ya? Hiks,,,”
”Ya,,,nggak gitu.”
”Apa mauku obati sakit hati kamu?”
Aku hanya diam dan dengan mata yang sembab memperhatikan David.
”Bersedia jadi pacar aku, aku jamin seratus persen aku nggak bakal ngecewain kamu dan aku bakal bahagiain kamu.”
”Are you kidding?”
”No, i’m sure.”
”Really.?”
”Yes”
”I’m sorry, i’m can’t”
”Kenapa?”
”Mungkin kamu bakal ngebahagiain aku, tapi aku nggak jamin bisa melakukan hal yang sama.”
”Kenapa? Karena kamu lagi patah hati. Aku akan ngebantu kamu untuk ngilangin patah hati kamu.”
”Nggak ada hubungannya dengan patah hati , Cuma aku bukan seperti yang kamu pikirkan, aku nggak sebaik itu.”
”Maksud kamu?”
”Aku nggak layak buat kamu.”
”Kenapa?”
”Karena,,,aku ,,,,sudahlah kayanya sekarang bukan saat yang tepat untuk ngebahas ini.”
Aku berdiri dan meninggalkan David kembali menuju kamarku.
* * *
Sudah berhari-hari sejak saat itu dan luka-lukaku sudah mulai sembuh dan aku sudah kembali mulai menjalani kehidupan biasaku, pagi hari aku sebagai mahasiswa biasa dan malam hari aku menjadi seorang kupu-kupu malam. Begitu juga dengan malam ini aku kembali dengan rutinitas malamku.
Malam ini aku sedang menemani seorang pelangganku, namanya Om Damar. Om Damar seorang pengusaha berumur 50an yang masih suka bersenang-senang dengan daun muda, seperti biasa aku menemani Om Damar minum di sebuah pub langganan yang selalu di datangi Om Damar ketika waktu senggangnya. Aku melayani Om Damar dan bercanda dengan Om Damar, selayaknya seorang penghibur.
”Nat,,!” seorang lelaki memanggil namaku di tengah kebisingan lagu di Pub.
Aku melihat kearah suara itu dan yang kutemui dari arah suara itu, yaitu David. sontak aku terkejut dan tak tahu mau bicara apa. Kalau sampai David tahu pekerjaanku, mungkin dia akan memberitahukannya kepada adikku.
”Ngapain kamu disini sama om-om..?” David melirik kearah om Damar. ”Dasar om-om hidung belang hobinya menggoda daun muda.”
”Apa maksudmu, bocah ingusan?” kata om Damar seraya berdiri dan mulai naik darah.
Aku pun berdiri dan menahan Om Damar seraya berbisik ”Bentar om, biar aku aja yang urus.”
Aku menarik tangan David dan membawanya keluar dari pub.
”Kamu ngapain sich?” Kataku yang berdiri dihadapan David.
”Kamu yang ngapain dengan om-om seperti itu?”
”Kurasa itu bukan urusanmu.”
”Nat,, apa sich yang sebenarnya kamu lakukan? Apa kerjaanmu melayani om-om seperti itu?”
”Iya, itu pekerjaanku, kenapa ada masalah toh itu bukan urusanmu kan. Kamu mau tahu pekerjaanku. Pekerjaanku yaitu seorang pelacur, seorang wanita yang menemani pria-pria yang sedang kesepian. Sudah puaskan, sudah tahu kan apa kerjaanku, kuharap kamu pergi dan nggak meganggu aku lagi.”
Aku segera meninggalkan David dan masuk kembali ke Pub mendatangi Om Damar.
”Siapa orang tadi.”
”Bukan siapa-siapa koq om, nggak penting.”
Aku menghabiskan malam ini dengan om Damar sambil meminum beberapa gelas minuman beralkohol. Dan pulang setelah kami lelah bersenang-senang. Aku pulang dengan taksi karena aku tidak membawa kendaraan, sesampainya di depan rumah ada seorang lelaki yang duduk di teras dan berdiri saat aku datang. Lagi-lagi orang itu adalah David. aku berjalan masuk dan tidak menghiraukan keberadaan David di situ, lagian aku sudah cape dan malas berdebat dengan dia.
David menahan tangganku ”Aku mau bicara.”
”Apa lagi sich, aku cape nich mau istirahat.” melepas pegangan david dan berbalik kearahnya.
”Cape?”david tertawa kecil ”cape melayani om-om, gimana kalau kamu melayani aku aja?”
Jelas sekali tercium bau alkohol dari tubuh dan mulut David.
”Kamu kenapa sich, kamu mabuk ya? Sebaiknya kamu pulang daripada bikin keonaran disini.”
”Bikin onar? Kamu di bayar berapa sama om-om itu, apa aku juga mesti ngebayar kamu kalau aku mau pergi sama kamu?”
Aku tidak menjawab apapun, dan dengan binggung memandangi david. lalu David memojokkan aku sampai ke dinding dan mencium bibirku secara paksa. Aku mendorong David dan membuatnya terhuyung jatuh.
”Kamu gila ya?” aku menampar muka david, dan David hanya terdiam. Aku masuk dan meninggalkan David diluar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar