Kamis, 15 Maret 2012

Nat's Story (Part-2)

”Hore. Aku menang lagi.” Kata David yang sedang bermain PS dengan adikku, Jo.
O,,,ya aku belum memperkenalkan adik-adikku ya. Yang sedang bermain PS dengan David, Jo, Jonathan adik lelaki ku yang masih duduk di kelas 1 SMA, dia anak yang cakep dan dia juga baik, dan yang disebelahnya yang sedang asyik menonton pertandingan permainan antara Jo dan David adalah Kei, Keizha adik perempuan ku yang masih duduk di kelas 2 SMP, cewe yang cukup lembut dan manis, tentunya pasti banyak yang mengidolakan akan menjadi seperti dia.
David jadi sering kerumahku semenjak pertemuanku dengannya di resto beberapa hari yang lalu dan setiap malam dia selalu kerumah bermain PS dengan Jo. Tapi cukup menyenangkan juga sich, melihat adikku cukup senang punya lawan main seperti David.
”Duch,,kak David sekali-sekali ngalah donk sama yang lebih kecil.” kata Jo yang sedari tadi selalu kalah melawan David.
”Kalo gitu gantian donk, kak Jo. Kan tadi katanya yang kalah harus gantian.” Kata Kei.
”Iya nich.” Balas Jo seraya menyerahkan stik PS nya ke Kei.
Aku segera beranjak dari sofa dan menuju kamarku, karena aku harus bersiap-siap untuk pergi ke tempat langgananku telah menunggu. Selesai berdandan aku segera keluar dari kamarku dan pemandangan di ruang tadi sudah berubah karena sekarang yang bermain telah berganti menjadi Jo dan Kei.
”Wah, ternyata David sudah kalah ya?”
”Iya donk kak, sapa dulu yang ngelawan.” Kata Kei seraya menoleh ke arahku. ”Kakak mau pergi kerja ya?”
”Iya, kalian jangan main sampai malam ya, besok mesti sekolah.”
”Tenang aja kak, kita tau koq.” Kata Jo.
”Apa perlu ku antar?” Tanya David.
”Nggak perlu, kamu lanjutin aja main sama mereka. Dan jangan sampai mereka main sampai malam ya.” kata Nat. ”Ok, bye. Hampir telat nich.”
Aku segera menuju garasi dan segera keluar dari garasi yang pagarnya sudah dibukakan oleh Bi Inah, seorang wanita setengah baya yang bekerja di rumahku.
”Bi, titip mereka berdua ya, kalo ada apa-apa, hubungi nomor saya.” Kata ku kepada bi Inah ketika mobilku melewati Bi Inah yang berdiri di gerbang pagar.
”Iya, non.”
Aku segera meluncur kejalan raya dan aku berhenti diparkiran sebuah pub,  turun dari mobil dan berjalan memasuki pub tersebut dan mulai mencari-cari di tengah kerumunan orang yang cukup banyak. Setelah memperhatikan sekeliling, ternyata orang yang kucari masih belum datang. Aku duduk disalah satu tempat yang masih kosong dan memanggil waiters untuk memesan segelas soft drink. Ya, hanyalah inilah yang biasa kupesan jika aku sedang menunggu seseorang, kecuali jika aku tidak sedang menanti seseorang baru aku memesan minuman yang sedikit mengandung alkohol.
”Halo, manis. Maaf membuat menunggu.” sapa seseorang yang berbicara tepat di telingaku.
Aku segera menoleh kearah suara itu, dan aku menemukan orang yang sedari tadi aku tunggu seorang lelaki yang sudah cukup berumur, kayanya umurnya sudah sekitar 50 tahunan dan tentunya dia adalah salah satu pelangganku.
”HAI, OM DARMA.” Sapaku sedikit berteriak untuk mengalahkan suara bising musik pub.
”SUDAH LAMA?” Balas Om Darma seraya duduk di bangku sebelahku,
”NGGAK JUGA, OM. SAYA JUGA BARU DATANG KOQ. OM MAU PESAN MINUM APA? BIAR SAYA PESANKAN.”
”SOFTDRINK SAJA, KARENA SAYA TIDAK MAU MABUK DULU SEBELUM BERSENANG-SENANG DENGAN KAMU.”
”OK.” Kataku seraya kemballi memanggil waiters dan memesankan om Darma segelas softdrink.
”GIMANA KABAR KAMU, BAIK-BAIK AJA KAN?”
”BAIK OM, OM SENDIRI GIMANA?”
”BAIK, CUMA DI KANTOR MASIH ADA SEDIKIT MASALAH.”
”MASALAH APA OM? APA SERIUS?”
Huh,,,beginilah kerjaanku harus berbasa-basi nggak penting dulu, baru bisa mendapatkan uang, kalo aku nggak melayani lebih baik, mungkin tipsku akan berkurang. Selama beberapa menit aku dan Om Darma masih terus berbincang-bincang di pub tersebut, setelah setengah jam baru kami keluar dari pub dan seperti biasa kami menuju ke sebuah hotel.
Aku mengikuti om Darma ke mobilnya, tentunya aku pergi nggak dengan mobilku sendiri karena nggak lucukan masa naik mobil sendiri-sendiri. Terutama karena om Darma memiliki supir, biasanya setelah aku selesai melayaninya di hotel supirnya akan segera mengantarku kembali ke pub, lalu kembali menjemput tuannya di hotel.
”Kamu tambah cantik aja ya Tan.” Kata Om Darma seraya membelai wajahku, ketika kami sudah sampai di sebuah kamar hotel.
”Makasih om.” kataku. ”Om, tunggu sebentar ya, saya mau mandi dulu nich, kan nggak enak kalau mencium aroma alkohol dan rokok yang menempel di tubuh saya.”
Ya, selalu begitulah yang kulakukan dengan om Darma sebelum memulai percintaan kami.
”Om, saya sudah selesai. Om mau mandi dulu juga kan airnya sudah saya siapkan.” kataku setelah aku keluar dari kamar mandi.
Keadaan sekitarku sudah begitu remang-remang, hanya kedua lampu di sisi tempat tidur saja yang masih menyala. Om Darma menghampiriku dan ingin memelukku. Aku sedikit menghindar dari om Darma.
”Om, lebih baik om mandi dulu, kan masih beraroma rokok om.”
”Ok, manis, tunggu sebentar ya.”
Aku duduk di depan meja rias seraya menyisir rambutku, ketika om Darma keluar dari kamar mandi, Om Darma segera menghampiriku dan memelukku, serta menciumi seluruh tubuhku.
”om,,,,,,”kataku seraya terus mengikuti gerakannya.

* * *

”Kak, nanti malam aku boleh ya, make mobil.” kata Jo, ketika sarapan pagi.
”Kamu mau kemana?”
”Ada acara ulangtahun teman kak, bolehkan?”
”Iya, tapi jangan di pake untuk macam-macam ya. Kamu kan masih belum punya SIM.”
”Iya, kak. Tenang aja.”
”Ya, udah. Kalian dah pada selesaikan sarapannya. Ayo kita pergi nanti terlambat lagi.”
”Iya, kak. Kemaren aja aku hampir terlambat untung satpamnya baik, jadi aku masih dibukakan pintu.” Kata Kei.
”Untung aja kamu nggak telat, kalo kamu sampe telat mungkin kakak bakal di panggil lagi ke sekolah kamu.” kataku. ” Ya, udah ayo kita cepet.”
Kami segera berjalan ke mobil sambil tertawa-tawa sendiri.

* * *

”Jo, kuncinya kakak taruh di meja ya.” Kataku kepada Jo yang sedang bermain PS.
”Lho, kakak udah mau pergi?” Tanya Jo.
”Iya, takut telat, lho kamu koq ga siap-siap katanya jam setengah tujuh dah mau berangkat?”
”Iya, bentar lagi, lagi nanggung nich kak.”
”Ya, udah kakak pergi dulu ya.”
Aku segera keluar dari rumah dan taksi yang ku panggil telah menunggu di depan rumah. Aku segera naik ke taksi dan taksi itu meluncur menuju ke sebuah hotel.
Kayanya aku masih kecepatan datang ke hotel ini, karena waktu bertemu kami baru jam 7 sedangkan sekarang baru jam 6.50. jadi aku memutuskan untuk menunggu di lobby hotel. Ternyata menunggu tetap pekerjaan yang paling membosankan, aku mengambil sebuah majalah yang ada di meja dan membolak-baliknya, beberapa saat kemudian aku melihat sesosok pria setengah baya dengan rambut sudah sedikit putih dan mengenakan setelan jas, yang cukup rapi tentunya dia bukan orang sembarangan, dialah orang yang sedang ku tunggu, namanya Om Tirta. Om Tirta masuk dari arah pintu, aku membiarkan Om Tirta masuk dulu ke kamar dan aku menunggu selama beberapa menit baru aku menyusul Om Tirta.
Om Tirta segera membuka pintu begitu aku menekan bel kamarnya.
”Malam, Om.” Sapaku mencium pipi Om Tirta.
”Kamu tambah cantik Tan!” Kata Om Tirta
”Makasih Om. Om juga makin ganteng.”
”Masa? Bukannya makin tua?”
”Biar Om tua, Om kan tetap ganteng, saya yakin di luar sana pasti banyak perempuan yang mengangumi Om. Termasuk saya salah satunya.”
”Paling kamu cuma memuji saja, supaya saya membayar lebih!”
”Ya, enggak gitu juga, saya kan Cuma mengatakan yang sebenarnya. Tapi saya juga enggak akan menolak jika om akan membayar lebih.” Kataku tersenyum.
”Om, saya mau mandi dulu ya, soalnya badan saya bau asap kendaraan nich.”
”Iya, tapi jangan lama-lama ya, Om enggak bisa menunggu lebih lama lagi.”
”Iya, Om.” Balasku seraya masuk kekamar mandi dan mulai membersihkan diriku dari bau asap kendaraan.
Saat aku keluar dari kamar mandi, Om Tirta sudah mematikan beberapa lampu sehingga, hanya lampu tidur yang samar-samar yang masih menyala. Aku pun menghampiri Om Tirta yang telah menunggu di tempat tidur.
”Ayo, Tan kesini Om sudah nunggu kamu dari tadi.”
”Iya sebentar Om, saya lagi nyisir rambut sebentar.”
Selesai menyisir rambut aku pun menghampiri  Om Tirta di tempat tidur.
”Om, kangen banget sama kamu,”
”Ah, Om!”
Ting tong,,,,ting tong,,,
”Om, ada bunyi bel tuch.”
”Cuekin aja paling Cuma room service,”
”Apa kata Om aja dech.”
Tapi bunyi bel terus beralanjut.
Ting tong,,,ting tong,,,,
”Om, liat aja dulu dech, berisik banget nich.”
”Ya, udah kamu tunggu aja di sini, Om liat dulu sapa yang datang.”
Om Tirta beranjak dari tempat tidur dan melihat dari lubang pintu. Tiba-tiba roman muka Om Tirta berubah menjadi ketakutan.
”Kenapa Om? Ada siapa?”
Aku pun mengintip dari lubang pintu untuk melihat siapa yang ada di balik pintu tersebut. Dan aku menemukan seorang wanita setengah baya yang berpenampilan cukup anggun tapi sepertinya wanita ini sedang di penuhi dengan emosi.
”Siapa Om? Istri Om ya?” Tanyaku, ragu-ragu.
”Iya.”
Aku segera mengenakan pakaianku dan mengambil barang-barangku. Begitu juga dengan Om Tirta, Om Tirta segera mengenakan pakaiannya.
”Om, Om buka aja pintunya, saya sembunyi dulu dibelakang pintu nanti begitu istri Om masuk saya akan segera keluar, jadi om harus mengalihkan perhatian istri om ya!”
Aku segera bersembunyi ke belakang pintu dan memberi aba-aba agar om Tirta membuka pintu.
”Ma, kok mama bisa ada disini?” kata om Tirta ketika membuka pintu kamarnya.
”Harusnya mama yang nanya ngapain papa disini. Pasti papa lagi sama perempuan di sini?” Tanya wanita itu curiga seraya memperhatikan ke dalam kamar.
”Enggak ada kok, Ma. Coba aja mama cek kedalam.”
Wuih gila, dadaku berdegub dengan sangat kencang, bagaimana jika wanita ini tahu aku sedang bersembunyi di balik pintu? Apa yang bakal terjadi? Ayo cepat donk om alihkan perhatian wanita ini.
Om Tirta mengajak wanita itu masuk kedalam kamar dan aku segera keluar dari balik pintu untuk segera pergi dari kamar itu, tapi tenyata masih ada seorang wanita lagi yang berdiri di depan pintu dan sepertinya dia seumuran dengan aku. Oh, no, sapa lagi nich orang? ngapain juga dia ada di sini?
”Ma, ini dia cewe yang sudah menggoda papa!”
Oh, no, ini anaknya. Duch aku mesti gimana nich? Aku sudah enggak mungkin kabur lagi dari sini. Anaknya menahan tanganku tepat dilenganku dan membawaku kembali kedalam kamar, bahkan dia membawa aku tepat di depan mamanya. Dia melepaskan tanganku tetapi sekarang yang ada dihadapanku lebih mengerikan lagi, aku tidak dapat berkutik apa-apa, aku binggung harus berbuat apa lagi, sudah jelas aku enggak bisa kabur sekarang.
Wanita itu terlihat sangat marah dan dia langsung menampar wajahku dengan begitu keras, membuat aku terjatuh dan pipiku membentur meja rias. Huh,,beraninya dia menamparku begitu keras.
”Ayo, berdiri cewe jalang.” kata wanita itu seraya kembali menghampiriku dan menarik lenganku. ”Sudah ngapain aja kamu sama suami orang? Dasar cewe enggak bermoral, apa kamu enggak pernah di ajari etika sama orangtua kamu? Atau orangtuamu juga sama seperti kamu?”
Entah kenapa aku begitu terusik ketika dia mengatakan tentang orangtuaku, aku enggak menerima dia telah menjelek-jelekkan orangtuaku.
”Ibu jangan sembarang ya, mengatakan orangtua saya seperti itu, saya enggak bisa terima ibu mengatakan orangtua saya seperti itu, ibu sendiri kenapa tidak menjaga suami ibu agar terus berada disisi ibu, malah dia harus mencari cewe lain untuk menghiburnya diluar sana.”
”Dasar cewe enggak tau adat. Pergi kamu dari sini.”
”Tenang aja, saya akan segera pergi dari sini. Bye-bye, om, sampai ketemu lagi.” aku mencium pipi Om Tirta, lalu segera keluar dari kamar itu.
”Dasar cewe sialan beraninya kamu melakukan itu.” Teriak istri Om Tirta
Aku berjalan keluar dari kamar itu tanpa mengacuhkan teriakan istri om Tirta.
Biar tahu rasa dia seenaknya menyebut-nyebut orangtuaku seenaknya, aku enggak masalah jika hanya aku yang dimakinya, tapi dia menyebut-nyebut orangtuaku dan aku enggak suka hal itu.
Aku berjalan keluar dari hotel dengan sangat kesal, dan aku tidak begitu memperhatikan tatapan orang yang memperhatikan aku ketika aku melewati lobby hotel, aku segera mencari taksi, begitu aku keluar dari hotel.
”Taksi,,,” teriakku ketika sebuah taksi meluncur di depanku, aku segera berlari ke tepi jalan. ”Auch,,,,” tiba-tiba aku terjatuh dan pergelangan kakiku terkilir plus tangan serta kakiku bertambah menjadi lecet-lecet terkena semen jalanan.
Huh, apes banget sich aku, sudah di tampar pake acara terkilir lagi. Aku kembali berjalan ke tepi jalan dan menunggu taksi yang lewat. Untungnya aku enggak perlu menunggu lama untuk sebuah taksi. Taksi yang kunaiki segera meluncur ke alamat yang kuberitahukan.
”Kenapa mba? Abis kecelakaan ya?” Kata supir taksi ketika melihatku melewati kaca kecilnya.
”Iya, tadi terkilir dikit.”
”Tapi, parah juga ya, mba! Sampai bibir mba berdarah juga.”
”O,,,ya,,” Kataku seraya mengambil cermin dari dalam tas tanganku.
Oh,,,God,,, pasti ini gara-gara ditampar sama istrinya Om Tirta, duch pipiku juga memar lagi.
Untungnya aku sudah sampai, males banget kale, kalo ngejawab pertanyaan supir ini.
”Nich, Pak! Makasih.” Kataku memberikan uang untuk membayar taksi.
Aku segera keluar dari taksi dan masuk ke dalam rumah, dengan sedekit terpincang-pincang. Ternyata saat aku masuk ke dalam Jo sudah pulang dan sedang bermain PS dengan David serta Kei enggak ketinggalan juga sedang menunggu untuk ikut bermain.
Duch,,gimana kalo mereka ngeliat aku seperti ini? Mesti bilang apa nich? Aku masuk kedalam dan melewati mereka tanpa berkata apa-apa.
”Lho, kak udah pulang?” Kata Jo tiba-tiba.
Duch,,,kok Jo ngeliat aku datang sich.
”Iya,,Ehm kakak mau ke kamar dulu, mau istirahat.”Kata ku tanpa menoleh ke arah mereka.
”Ikut maen yuk, kak.” Kata Keizha menghampiriku. ”Lho,, kakak kenapa?”
”Ehm,,,,enggak apa-apa kok.”
”Kok, kakak lecet-lecet gitu sich.”
Jo dan David pun menoleh ke arahku dan datang menghampiriku, begitu mendengar Kei mengatakan hal itu.
”Kak Nat, koq penuh luka gitu sich?” Tanya Jo
”Ehm,,tadi ke sandung jadi terkilir dan lecet-lecet gini dech.”
”Ke rumah sakit yuk, Nat.” Kata David
”Duch,, enggak perlu kali, Cuma lecet-lecet gini doang. Paling Cuma butuh dibersihkan dan di kasih obat dikit.”
”Tapi kak, gimana kalau infeksi? Lebih baik kita periksain aja ke dokter.” Kata kei.
”Enggak apa-apa kok, Cuma lecet gini aja.”
”bener kata kei.” sambung David.
”Enggak apa kok, paling beberapa hari juga sembuh. Ehm,,aku mau istirahat dulu ya. Kei, bisa bantuin kakak ambilkan obat dan mintakan air hangat ke Bi Inah."
”Iya, kak!” kata Kei dan segera ke dapur.
”Kalian lanjutin aja main kalian, aku mau istirahat dulu, thanks atas perhatiannya.”
Aku berjalan dengan sedikit terpincang-pincang menaiki tangga.
”Sini kak, Jo bantu.” Jo memapahku menaiki tangga dan mengantarku ke kamar.
”Thanks, Jo.”
”Kakak, yakin enggak mau ke dokter.”
”Tenang dech, Cuma lecet doang kok.”
”Ya, udah dech kak, Jo turun ya. Met istirahat kak!! Kalau butuh apa-apa panggil Jo aja ya, kak.”
”Ok, dech.”
Jo keluar dari kamarku dan beberapa menit Kei dan Bi Inah masuk ke kamarku dengan membawa sebuah kotak obat, sebuah baskom dengan air hangat serta handuk kecil.
”Sini kak, Kei bantu obatin.”
”Enggak perlu Kei, kakak bisa sendiri kok. Kamu kembali aja main sama Jo. Kakak enggak apa-apa kok. Bi Inah juga boleh istirahat.”
”Ya, udah dech kak, Kei enggak mau nganggu. Malam, kak!”
”Kalau butuh apa-apa panggil saya aja, non.”
”Iya, Bi, makasih.”
Kei dan Bi Inah keluar dari kamarku dan aku berpindah ke depan kaca mengobati luka-lukaku.
Tok,,,tok,,,tok,,,
”Ya,,,”
Ternyata David yang muncul dari balik pintu.
”Kenapa, Vid?”
”Aku Cuma mau ngecek, apa kamu butuh bantuan untuk ngobatin luka kamu?”
”Enggak apa-apa kok, Vid.”
David menghampiriku dan mengambil handuk kecil dan membasahinya dengan air hangat, lalu meletakkannya ke kakiku yang terkilir.
”Makasih Vid, tapi enggak apa-apa kok aku bisa sendiri.”
”Sudahlah, enggak perlu enggak enak gitu, kan enggak ada salahnya membantu, kalau sedang dibutuhkan.”
”Makasih, Vid. Aku bisa sendiri kok.” aku mengambil handuk kecilnya dari tangan David.
David kembali menghampiriku dan memegang wajahku.
”Kok mukamu bisa luka seperti ini sich?” david memerhatikan luka di bibirku dan lebam di pipiku.
”Sepertinya tadi sedikit terbentur dech makanya bisa seperti ini.”
”Pasti sakit, ya.”
”Enggak apa-apa, Vid. Bukan masalah besar.”
”Ya, udah dech, kayanya kamu lagi enggak mau di ganggu, aku keluar aja dulu. Selamat istirahat.”
”Iya.” balasku ”Vid!” Panggilku ketika David akan membuka pintu kamarku untuk keluar.
”Kenapa?” David kembali berbalik.
”Makasih,, makasih dah perhatian sama aku.”
            ”Sama-sama” David berlalu meninggalkan kamarku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar